Sabtu, 14 Maret 2009

GAWAT ABDOMEN

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1.7
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.1.2
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.3
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.3.7

Peritonitis selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.2

I. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut.
Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.2.8
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura.
Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkambangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar, bagian usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale.
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan terletak sekarang dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei, dengan demikian: Duodenum terletak retroperitoneal; Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium; Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal; Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum; Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal karena pada permulaan merupakan suatu tonjolan dinding usus dan tidak mempunyai alat pengantung; Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium, lipatan peritoneum akibat adanya arteria yang menuju ke ujung processus vermiformis. Ia sebenarnya lanjutan dari cecum.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadfi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum. Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae.
Ventriculus memutar terhadap sumbu longitudinal, sehingga curvatura mayor di sebelah kiri dan curvatura minor di sebelah kanan. Kemudian ventriculus memutar terhadap sumbu sagital, sehingga cardia berpindah ke kiri dan pilorus ke kanan. Kerena ventriculus berputar, sebagian mesogastrium dorsale mendekati peritoneum perietale dan tumbuh melekat. Dengan demikian tempat perlekatan mesogastrium dorsale merupakan suatu lengkung dari kiri kranial ke kanan kaudal. Bagian yang terkaudal mendekati perlekatan mesocolon transversum yang berjalan trasversal. Dibagian kaudal juga terjadi perlekatan mesogastrium dorsale dengan mesocolon transversum dan disebut sebagai omentum majus. Kantong yang dibentuk olehnya disebut bursa omentalis.
Mesogastrium ventrale melekat pada peritoneum parietale dinding ventral perut dan pada diaphragma. Di dalam mesogastrium ventrale hepar terbentuk dan berkembang. Hepar berkembang ke kaudal sampai tepi batas mesogastrium yang disebut omentum minus atau ligamentum hepatogastricum dengan tepi bebasnya di sebelah kaudal disebut ligamentum hepatoduodenale. Ligamentum falciforme melekat pada batas antara lobus dexter dan lobus sinister. Omentum minus melekat pada fosa sagittalis sinistra bagian dorsokranial dan mengelilingi portae hepatis. Ligamentum teres hepatis yaitu sisa vena umbilikalis sinistra, terbentang dari umbilicus ke hepar di dalam tepi bebas ligamentum falciforme hepatis, masuk di dalam fossa sagittalis sinistra hepatis dan berakhir pada ramus sinistra vena portae.
Di dalam tepi bebas omentum minus atau ligamentum hepatoduodenale terdapat: Vena portae; Arteria hepatica propria; Ductus choledochus; Serabut-serabut saraf otonom; Pembuluh-pembuluh lympha.
Di sebelah kiri berjalan a. hepatica propria di sebelah dorsal kedua bangunan ini ditengah-tengah berjalan v. portae. Ductus choledocus dibentuk oleh oleh ductus cysticus dan ductus hepaticus communis, berjalan melalui ligamentum tersebut ke kaudomedial, menyilangi disebelah dorsal pars superior duodeni sampai di dalam sulcus diantara pars descendens duodeni dan caput pancreatis bermuara di papillae duodeni major.
Di dalam mesenterium dan duodenum (mesoduodenum) dan mesogastrium dorsale terjadi dan tumbuh pankreas. Karena mesoduodenum dan sebagian mesogastrium dorsale tumbuh melekat dengan peritoneum parietale, caput dan corpus pancreatis letaknya menjadi retroperitoneal, tetapi cauda pancreatis masih tetap didalam omentum majus.
Didalam omentum majus disebelah ventral cauda pancreatis lien terbentuk dan berkembang kearah kiri sehingga ia ditutupi sebagian besar oleh lembaran kiri omentum majus. Omentum majus dibagi dua oleh lien menjadi ligamentum precholienale, bagian antara lien dan peritoneum parietale yang menutupi diaphragma, ligamentum gastrolienale bagian antara lien dan ventriculus. Karena lien tumbuh terutama ke kiri, lembaran kanan kedua ligamentumtidak sampai melekat pada lien, sedangkan lembaran kiri mulai melekat pada lien dikelilingi hilus.
Karena perubahan letak ventriculus terjadilah bursa omentalis. Lubang masuk kedalam bursa omentalis disebut foramen epiploicum (Winslowi) dibatasi:
Dibagian cranial oleh processus caudatus
Dibagian ventral oleh lig.hepatoduodenale Dibagian kaudal oleh pars superior duodeni. Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi vena cava inferior.
Bursa omentalis sendiri dibatasi: Dibagian cranial oleh lobus caudatus hepatis Dibagian ventral oleh omentum minus dan ventriculus
Dibagian kaudal oleh mesocolontransversum serta colon transversum
Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi caput dan corpus pancreatic.
Dibagian kiri oleh omentum majus dengan cauda pancreatic dan lien
Omentum majus yang melekat pada colon tansversum ke kaudal menutupi usus dari sebelah vental sebagai suatu tirai untuk kemudian melipat ke arah cranial dan melekat pada curvatura major ventriculi. Kedua lembaran dari lipatan itu dibagian kaudal tumbuh melekat. Bagian yang tidak tumbuh merupakan lanjutan bursae omentalis yang disebut recessus inferior bursae omentalis. Bagian bursae omentalis terkranial disebut recessus superior bursae omentalis.
Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus.
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.5
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.4
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.4
Total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Molekul-molekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui stomata kecil.5
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).6.7

II. ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.6
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan perdarahan.6
Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I.6

III. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
a.Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b.Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung).2.3.9

IV. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.1
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.5
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.10
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.5
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.7
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.4
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.1
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.7
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.1.7

V. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 2.3.5.9
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus.

Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Spesifik : misalnya Tuberculosis
2. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi. Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
c. Peritonitis tersier, misalnya:
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
- Peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

VI. MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.1
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.1
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.1.7

VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
a. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.1.3
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah.3
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.3
c. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.3

VIII. TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.1.8

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.5.11
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.5.11
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.11
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.2.3
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.2.3

IX. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :9
a. Komplikasi dini Septikemia dan syok septik Syok hipovolemik Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem Abses residual intraperitoneal Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut Adhesi Obstruksi intestinal rekuren

X. PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.1

Apendisitis akut

Etiologi dan Patogenesis

a. Peranan Lingkungan: diet dan higiene

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis jarang di negara yang sedang berkembang, dimana diet dengan tinggi serat dan konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan menghasilkan feses dengan konsistensi keras

b. Peranan Obstruksi

Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dominan dalam apendisitis akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada 20% anak-anak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet rendah serat Frekuensi obstruksi meningkat sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren tanpa ruptur terdapat 65% dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur terdapat 90%

Jaringan limfoid yang terdapat di submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.

Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala, namun cukup untuk menimbulkan risiko terjadinya perforasi

Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding apendiks , lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat, sehingga desakan pada dinding apendiks

akan bertambah besar menyebabkan gangguan pada sistem vasa dinding apendiks Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada peritoneum parietale Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi .

c. Peranan Flora Bakterial

Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis .

Diagnosis klinis

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis apendisitis akut. Apendisitis akut adalah diagnosis klinis. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks normal daripada laki-laki dalam kasus apendektomi, Primatesta (1994) melaporkan bahwa perempuan tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki dalam insidensi kasus apendektomi negatif. Hal ini dapat disadari mengingat perempuan yang masih sangat muda sering timbul gejala mirip apendisitis akut terutama penyakit ginekologis. Hal-hal penting yang dapat membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut adalah bahwa apendisitis biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam sudah timbul gejala atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita biasanya cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah sakit.

Gejala Klinis

Merupakan kasus akut abdomen yang dimulai dengan ketidaknyamanan perut dibagian atas, diikuti dengan mual dan penurunan nafsu makan. Nyeri menetap dan terus menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah epigastrium, kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan bawah. Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan atau batuk.Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis acute. Penderita appendicitis acute biasanya ditemukan ditemukan terbaring di tempat tidur serta memberkan penampilan kesakitan. Mudah tidaknya gerakan penderita untuk menelentangkan diri merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic pain).

Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, menghasilkan nyeri terutama bila penderita disuruh batuk.. Pada palpasi dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba defans musculer ringan . Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8 der.C, pada kasus appendix yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium kadang merupakan awal dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk appendix yang terletak retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada nyeri di abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan uretra pada lokasi retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah dan bahkan hematuria. Sedang pada appendix yang letaknya pelvical, kadang menimbulkan gejala seperti gastroenteritis acut .

Untuk appendicitis acute yang telah mengalami komplikasi, misal perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya seperti dibawah ini (Ellis, 1989).

* Perforasi :

Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Rasa nyeri bertambah dasyat dan mulai dirasa menyebar, demam tinggi (rata-rata 38,3 der. C). Jumlah lekosit yang meninggi merupakan tanda khas kemungkinan sudah terjadi perforasi.

* Peritonitis :

Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari appendicitis yang telah mengalami gangrene. Sedangkan peritonitis umum adalah merupakan tindak lanjut daripada peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans musculer yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik, merupakan gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-gejala sepsis, menunjukkan peritonitis yang makin berat.

* Abses / infiltrat :

Merupakan akibat lain dari perforasi. Teraba masa lunak di abdomen kanan bawah. Seperti tersebut diatas karena perforasi terjadilah “walling off” (pembentukan dinding) oleh omentum atau viscera lainnya, sehingga terabalah

massa (infiltrat) di regio abdomen kanan bawah tersebut. Masa mula-mula bisa berupa plegmon, kemudian berkembang menjadi rongga yang berisi pus. Dengan USG bisa dideteksi adanya bentukan abses ini. Untuk massa atau infiltrat ini, beberapa ahli menganjurkan anti biotika dulu, setelah 6 minggu kemudian dilakukan appendektomi. Hal ini untuk menghindari penyebaran infeksi

Anamnesis

· Nyeri / Sakit perut

Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada seluruh saluran cerna , sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut ( tidak pin-point). Mula2 daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc Burney. Apa bila telah terjadi inflamasi ( > 6 jam ) penderita dapat menunjukkan letak nyeri, karena bersifat somatik.

Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya dicurigai menderita apendisitis. Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Anak dapat menunjuk dengan satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang dimana yang nyeri

Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti misalnya:

a. Bagaimana hebatnya nyeri ?

b. Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau main atau anak tinggal di tempat tidur saja ?

c. Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk sekolah ?

d. Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam ?

e. Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ?

Beberapa anak dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya nyeri yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu, umpamanya nyeri sesudah makan malam, sesudah berolah raga atau sesudah bangun tidur. Anak dapat menunjukkan dan menceritakan perjalanan rasa nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan informasi dari orang tuanya. Perlu diperhatikan bahwa sebagian orang tua sering membesar-besarkan keluhan anaknya.

Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding apendiks yang mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan periumbilikal Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan

sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.

· Muntah (rangsangan viseral) à akibat aktivasi n.vagus

Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya, merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini tidak ada maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria

· Obstipasi à karena penderita takut mengejan

Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum

· Panas (infeksi akut) à bila timbul komplikasi

Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,50 - 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung, apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika dan ureter

Pemeriksaan Fisik

Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadang-kadang diagnosis salah pada anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis yang tidak karakteristik dan sekaligus sulit diperiksa. Anak akan menangis terus-menerus dan tidak kooperatif.

q Inspeksi

Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah terlihat pada appendikuler abses.

Pemeriksaan pada anak, perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja periksa. Anak menunjukkan ekspresi muka yang tidak gembira. Anak tidur miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri .

q Palpasi

Pada pemeriksaan abdomen pada anak dengan permukaan tangan yang mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk berkontraksi sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita perlu melakukan palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas, kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau adanya tumor yang superfisial. Waktu melakukan palpasi pada abdomen anak, diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha yang lain, sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan yang cepat dan kasar karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak mungkin dilakukan

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :

· Nyeri tekan (+) Mc.Burney

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis

· Nyeri lepas (+) à rangsangan peritoneum

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.

· Defens musculer (+) à rangsangan m.Rektus abdominis

Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

· Rovsing sign (+)

Penekanan perut sebelah kiri à nyeri sebelah kanan, karena tekanan merangsang peristaltik dan udara usus , sehingga menggerakan peritoneum sekitar appendik yang meradang (somatik pain)

Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan

· Psoas sign (+)

Pada appendik letak retrocaecal, karena merangsang peritoneum

Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks

Ada 2 cara memeriksa :

1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan

pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae

kanan à nyeri perut kanan bawah.

2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan

pemeriksa, nyeri perut kanan bawah

· Obturator Sign (+)

Dengan gerakan fleksi & endorotasi articulatio coxae pada posisi telentang à nyeri (+)

Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium

q Perkusi à Nyeri ketok (+)

q Auskultasi

Peristaltik normal, peristaltik(-) pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus

q Rectal Toucher / Colok dubur à nyeri tekan pada jam 9-12

Colok dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada anak kecil karena biasanya menangis terus menerus

Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa, maka anak dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik ringan, seperti pentobarbital (2,5 mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah anak tenang, biasanya setelah satu jam dilakukan pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat membantu untuk melemaskan otot dinding abdomen sehingga memudahkan penilaian keadaan intraperitoneal

Tanda Peritonitis umum (perforasi) :

1. Nyeri seluruh abdomen

2. Pekak hati hilang

3. Bising usus hilang

Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan gejala-gejala sebagai berikut:

a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam

b. Demam tinggi lebih dari 38,50C

c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000)

d. Dehidrasi dan asidosis

e. Distensi

f. Menghilangnya bising usus

g. Nyeri tekan kuadran kanan bawah

h. Rebound tenderness sign

i. Rovsing sign

j. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal

Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari 50%, ini berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan omentum mayus yang berkembang belum sempurna dibanding anak yang lebih besar

Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di bawah umur 8 tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar daripada anak yang lebih besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999). Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi (Lally, 2001).

Pemeriksaan penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kwadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laborotorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler. Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh dan membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara:

1. mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear, makrofag) pada tempat tersebut.

2. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.

3. menetralisir dan mencairkan iritan.

4. membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan terbentuknya dinding jaringan granulasi.

Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis (Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Sedang Doraiswamy (1979), mengemukakan bahwa komnbinasi antara kenaikan angka lekosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendicitis acut

Tes laboratorium untuk appendicitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakkkan diagnosa. Jumlah lekosit untuk appendisitis akut adalah >10.000/mmk dengan pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Sehingga gambaran lekositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendicitis acute (Bolton et al, 1975). Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendicitis acut, memiliki jumlah lekosit dan granulosit tetap normal (Nauts et al, 1986).

Marker inflamasi lain yang dapat digunakan dalam diagnosis apendisitis akut adalah C-rective protein (CRP). Petanda respon inflamasi akut (acute phase response) dengan menggunakan CPR telah secara luas digunakan di negara maju. Nilai senstifitas dan spesifisits CRP cukup tinggi, yaitu 80 - 90% dan lebih dari 90%. Pemeriksaan CRP mudah untuk setiap Rumah Sakit didaerah, tidak memerlukan waktu yang lama (5 -10 menit), dan murah

Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen. Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 sel/lapangan pandang (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993).

.

2. Foto Polos abdomen

Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus (Cloud, 1993).

Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan. Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994). Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga perlu foto khusus untuk melihatnya.

Kalau sudah terjadi peritonitis yang biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa tempat adanya permukaan cairan udara (air-fluid level) yang menunjukkan adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994). Foto x-ray abdomen dapat mendeteksi adanya fecalith (kotoran yang mengeras dan terkalsifikasi, berukuran sebesar kacang polong yang menyumbat pembukaan appendik) yang dapat menyebabkan appendisitis. Ini biasanya terjadi pada anak-anak. Foto polos abdomen supine pada abses appendik kadang-kadang memberi pola bercak udara dan air fluid level pada posisi berdiri/LLD ( decubitus ), kalsifikasi bercak rim-like( melingkar ) sekitar perifer mukokel yang asalnya dari appendik. Pada appendisitis akut, kuadran kanan bawah perlu diperiksa untuk mencari appendikolit : kalsifikasi bulat lonjong, sering berlapis.

Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis

Barium enema adalah suatu pemeriksaan x-ray dimana barium cair dimasukkan ke kolon dari anus untuk memenuhi kolon. Tes ini dapat seketika menggambarkan keadaan kolon di sekitar appendik dimana peradangan yang terjadi juga didapatkan pada kolon. Impresi ireguler pada basis sekum karena edema (infiltrasi sehubungan dengan gagalnya barium memasuki appendik (20% tak terisi) Terisinya sebagian dengan distorsi bentuk kalibernya tanda appendisitis akut,terutama bila ada impresi sekum. Sebaliknya lumen appendik yang paten menyingkirkan diagnosa appendisitis akut. Bila barium mengisi ujung appendik yang bundar dan ada kompresi dari luar yang besar dibasis sekum yang berhubungan dengan tak terisinya appendik tanda abses appendik Barium enema juga dapat menyingkirkan masalah-masalah intestinal lainnya yang menyerupai appendiks, misalnya penyakit Chron’s, inverted appendicel stump, intususepsi, neoplasma benigna/maligna.

2. Ultrasonografi

Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses. Untuk dapat mendiagnosis apendisitis akut diperlukan keahlian, ketelitian, dan sedikit penekanan transduser pada abdomen. Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada penampakan transversal (Gustavo GR, 1995) Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).

Akurasi ultrasonografi sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan kemampuan pemeriksa. Pada beberapa penelitian, akurasi antara 90 – 94%, dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85 dan 92% (Erik K, 2003). Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya apabila cukup udara maka abses apendiks dapat diidentifikasi.

Ultrasound adalah suatu prosedur yang tidak menyakitkan yang menggunakan gelombang suara untuk mengidentifikasi organ-organ dalam tubuh. Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Ultrasound juga berguna pada wanita sebab dapat menyingkirkan adanya kondisi yang melibatkan organ ovarium, tuba falopi dan uterus yang gejalanya menyerupai appendisitis. Hasil usg dapat dikatagorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil usg yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus. Hasil usg dikatakan kemungkinan appaendik jika ada pernyataan curiga atau jika ditemukan dilatasi appendik di daerah fossa iliaka kanan, atau dimana usg di konfermasikan dengan gejala klinik dimana kecurigaan appendisitis.

3. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat, mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90 – 100% dan 96 – 97%, serta akurasi 94 – 100%. Ct-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon

Perbandingan pemeriksaan penunjanng apendisitis akut:


Ultrasonografi

CT-Scan

Sensitivitas

85%

90 - 100%

Spesifisitas

92%

95 - 97%

Akurasi

90 - 94%

94 - 100%

Keuntungan

Aman

Lebih akurat

relatif tidak mahal

Mengidentifikasi abses dan flegmon lebih baik

Dapat mendignosis kelainan lain pada wanita

Mengidentifikasi apendiks normal lebih baik

Baik untuk anak-anak

Kerugian

Tergantung operator

Mahal

Sulit secara tehnik

Radiasi ion

Nyeri

Kontras

Sulit di RS daerah

Sulit di RS daerah

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendisitis.

4. Laparoskopi (Laparoscopy)

Meskipun laparoskopi mulai ada sejak awal abad 20, namun penggunaanya untuk kelainan intraabdominal baru berkembang sejak tahun 1970-an. Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digenakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi

5. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis apendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi apendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan opersi Riber et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi apendisitis akut. Hasilnya adlah perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli bedahnya.

Difinisi histopatologi apendisitis akut:

1

Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan epitel.

2

Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

3

Sel granulosit dalam lumen apendiks dengan infiltrasi ke dalam lapisan epitel.

4

Sel granulosit diatas lapisan serosa apendiks dengan abses apendikuler,

dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.

5

Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa dan

keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.

Reaksi fase akut (Acute phase reaction)

Reaksi fase akut adalah pertahanan pertama tubuh dalam melawan proses inflamasi (innate immune), yang berfungsi tanpa melalui sistem spesifik dan memori (adaptive immune). Inflamasi adalah respon terhadap kerusakan jaringan oleh stimulus yang dapat berupa trauma mekanik, nekrosis jaringan, dan infeksi. Tujuan proses inflamasi adalah untuk melawan agen pengrusak, awal proses perbaikan, dan mengembalikan fungsi jaringan yang rusak. Proses inflamasi dapat berlangsung akut dan kronik. Inflamasi akut dapat disebabkan oleh agen mikroba (virus, bakteri, jamur, dan parasit), trauma, nekrosis jaringan oleh kanker, arthritis rematiod, luka bakar, dan toksin yang disebabkan oleh obat atau radiasi.

Keadaan inflamasi merangsang tubuh untuk mengeluakan sitokin dan hormon yang berfungsi dalam regulasi haematopoesis, sintesis protein, dan metabolisme. Sistem immun dibagi menjadi dua, immun bawaan (innate immune) dan immune didapat (adaptive immune) Immun bawaan terdiri dari sel fagosit, sistem komplemen, dan fase akut protein, bekerja tanpa melalui proses spesifik dan memori. Ketika sel fagosit teraktivasi, maka ia akan memacu sintesis sitokin. Sitokin tidak hanya berfungsi dalam regulasi sistem immun bawaan, tetapi juga sistem immun yang didapat.

Ada 4 komponen yang menyertai proses inflamasi akut, yaitu:

1. Dilatasi vaskuler (permaebilitas vaskuler meningkat)

Dilatasi vaskuler (permaebilitas membaran meningkat) adalah relaksasi muskulus vaskuler yang menyebabkan jaringan hiperemis. Proses transudasi yang terjadi melalui membran sel, diikuti lepasnya sel PMN (polimorfonuklear) ke jaringan. Jika fibrinogen terekstravasasi kedalam jaringan juga, maka terjadilah mekanisme pembekuaan .

2. Emigrasi neutrofi

Emigrasi neutrofil dimulai dengan menempelnya sel ini pada permukaaan endotel. Sel PMN tampak dominan menempel pada permukaan endotel. Emigrasi sel neutrofil pada area inflamasi disebabkan adanya faktor kemotatik. Keterlibatan proses immun-kompleks dalam proses awal inflamasi, menyebabkan faktor kemotaktik mengaktivasi komplemen C5a. Komplemen C5a ini kemudiaan menyebabkan sel PMN tertarik ke area inflamasi. Produk bakteri juga bersifat kemotaktik terhadap sel PMN. Intensitas dan durasi emigrasi sel PMN biasanya dalam 24-48 jam, tergantung faktor kemotaktik pada area inflamasi

3. Eemigrasi sel mononuclea

Proses ini dimulai 4 jam setelah adanya stimulasi dan mencapai puncaknya 16-24 jam. Pada keadaan awal respon seluler, sel mononuklear akan tampak dalam jumlah sedikit bersama sel polimorfonuklear. Keluarnya sel mononuclear ini distimulasi oleh proses fagositosis debris, produk fagositosis neutrofil, dan sitokin . Proses terakhir inflamasi adalah proliferasi seluler

4. Pproliferasi seluler.

Proses ini diawali dengan proliferasi fibroblas yang dimulai dalam 18 jam dan mencapai puncaknya 48 sampai 72 jam. Fibroblas mengeluarkan acidic mukopolysaccharides yang menetralisis afek beberapa mediator kimiawi. Pada akhir proses ini diharapkan kembalinya fungsi area yang terkena inflamasi, namun dalam beberapa keadaan, proses ini berakhir dengan terbentuknya abses dan granuloma

Diagnosis Banding

Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti gastroenteritis, ileitis terminale, tifoid, divertikulitis meckel tanpa perdarahan, intususepsi dan konstipasi. Gangguan alat kelamin perempuan termasuk diantaranya infeksi rongga panggul, torsio kista ovarium, adneksitis dan salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti infeksi saluran kencing, batu ureter kanan. Penyakit lain seperti pneumonia, demam dengue dan campak

q Kelainan Gastrointestinal

· Cholecystitis akut

· Divertikel Mackelli

Merupakan suatu penonjolan keluar kantong kecil pada usus halus yang biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah dekat dengan appendik. Divertikulum dapat mengalami inflamasi dan bahkan perforasi ( robek atau ruptur). Jika terjadi inflamasi atau perforasi, harus ditangani dengan pembedahan.

· Enterirtis regional

· Pankreatitis

o Kelainan Urologi

· Batu ureter

· Cystitis

o Kelainan Obs-gyn

· Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

· Salphingitis akut (adneksitis) à keputihan (+)

Penyakit peradangan panggul. Tuba falopi kanan dan ovarium terletak dekat appendik. Wanita yang aktif secara seksual dapat mengalami infeksi yang melibatkan tuba falopi dan ovarium. Biasanya terapi antibiotik sudah cukup, dan pembedahan untuk mengangkat tuba dan ovarium tidak perlu.

Penatalaksanaan

o Appendiktomi

§ Cito à akut, abses & perforasi

§ Elektif à kronik

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.

o Konservatif kemudian operasi elektif (Infiltrat)

§ Bed rest total posisi Fowler (anti Trandelenburg)

§ Diet rendah serat

§ Antibiotika spektrum luas

§ Metronidazol

§ Monitor : Infiltrat, tanda2 peritonitis(perforasi), suhu tiap 6 jam, LED, AL à bila baikà mobilisasi à pulang

Penderita anak perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya muntah pada waktu induksi anestesi. Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan cairan ringer laktat 20 ml/kgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena, kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin output sebanyak 1 ml/kgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam.

Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua anak dengan apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita. Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin (100mg/kg), gentamisin (7,5mg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin

Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :

1. Cutis 6. MOI

2. Sub cutis 7. M. Transversus

3. Fascia Scarfa 8. Fascia transversalis

4. Fascia Camfer 9. Pre Peritoneum

5. Aponeurosis MOE 10. Peritoneum